SEJARAH KERATON KASEPUHAN, KERATON KANOMAN DAN KERATON SUNYARAGI CIREBON JAWA BARAT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keraton
Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin
II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan
Gunung Jati pada tahun 1506, beliau bersemayam di dalem Agung
Pakungwati Cirebon.Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton
Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan
Pakungwati I. Dan sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati
binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Putri
itu cantik rupawan berbudi luhur dan bertubuh kokoh serta dapat
mendampingi suami, baik dalam bidang Islamiyah, pembina negara maupun
sebagai pengayom yang menyayangi rakyatnya.
Ahkirnya beliau pada
tahun 1549 wafat dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang
sangat tua, dari pengorbanan tersebut akhirnya nama beliau diabadikan
dan dimulyakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu
Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Keraton
Kanoman adalah pusat peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian
terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton
Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.
Keraton Kanoman masih taat
memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi
Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam
leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan
bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam
yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif
Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6
hektar ini berlokasi di belakang pasar. Di Keraton ini tinggal sultan
ke-12 yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga.
Keraton
adalah komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan
kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan
cikal bakal Keraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepak bola
ini.
Di Keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati,
seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang Masih
terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burok, yakni hewan yang
dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi'raj.
Tidak jauh dari
kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu,
penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi.
Dan di bagian tengan Keraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama
Siti Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya
piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding
semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik
itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang
tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu
menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai
perlambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun-alun untuk
rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur
keraton selalu ada masjid.
Sunyaragi adalah nama suatu Cagar Budaya
Indonesia yang unik. Sunyaragi berlokasi di kelurahan Sunyaragi,
Kesambi, Kota Cirebon dimana terdapat bangunan mirip candi yang disebut
Gua Sunyaragi, atau Taman Air Sunyaragi, atau sering disebut sebgaai
Tamansari Sunyaragi. Nama "Sunyaragi" berasal dari kata "sunya" yang
artinya adalah sepi dan "ragi" yang berarti raga, keduanya adalah
bahasa Sansekerta. Tujuan utama didirikannya gua tersebut adalah
sebagai tempat beristirahat dan meditasi para Sultan Cirebon dan
keluarganya.
1.2. Rumusan Masalah
Dikarenakan kajian masalah
mengenai Sejarah keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman ini sangat
meluas cakupannya, maka penulis membatasinya dalam sebuah rumusan
masalah dengan tujuan pembahasan yang dikaji tidak terlalu banyak
bahasannya. Tetapi penulis ingin memaparkan pembahasannya secara rinci
dengan kemampuan dari penulis sendiri.
Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Potret Kosmopolitan Penguasa Pesisir Jawa Barat Cirebon.
2. Arsitektur dan Interior Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Keraton Sunyaragi
3. Koleksi-koleksi yang ada di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman
a). bangunan-bangunan keraton kasepuhan, keraton kanoman dan keraton Sunyaragi
b). Alat-alat music yang berada dikeraton kasepuhan dan keraton kanoman
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian
yang dilakukan oleh penulis tentunya memiliki tujuan tersendiri
sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian tersebut. Adapun
tujuan penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk memnuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) pada Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang dibina oleh Bapak Mardani.
2. Untuk mengetahui Sejarah Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman yang berada di Cirebon Jawa Barat.
3.
Untuk mengetahui manfaat atau kegunaan dari peninggalan-peninggalan
pada zaman kerajaan-kerajaan yang berada di Cirebon Jawa Barat
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Rancangan Penelitian
Dalam
merancang penelitian yang akan dilaksanakan, penulis menggunakan metode
observasi dan wawancara dan tanya jawab untuk memperoleh data yang
dibutuhkan dari tempat penelitian. Adapun susunan kedua metode tersebut
diuraikan sebagai berikut :
A. Observasi
Dalam penelitian yang
dilaksanakan, penulis menggunakan metode observasi, yakni dengan terjun
langsung ke lapangan. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih
akurat karena berasal langsung dari narasumbernya. Observasi yang
dilakukan penulis ini dilaksanakan pada :
Hari : Sabtu, Ahad, Senin
Tanggal : 26, 27, 28. Desember 2009
Waktu : 13.00 WIB s/d selesai
Tempat : Cirebon Jawa Barat.
B. Wawancara dan Tanya Jawab
Metode
wawancara ini penulis gunakan untuk mendapatkan data secara langsung
dari narasumber yang memang merupakan ahlinya di bidang kesejarahan
keraton kasepuhan, keraton kanoman dan keraton sunyaragi. Yang menjadi
narasumber dalam wawancara yang dilakukan penulis tersebut yaitu :
Semua pekerja atau (Abdi Dalem) yang berada di keraton kasepuhan, keraton kanoman dan keraton sunyaragi.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Potret Kosmopolitan Penguasa Pesisir Cirebon Jawa Barat
Kesultanan
Cirebon (menjadi Kraton Kasepuhan setelah perpecahannya pada tahun
1677, dan terbentuknya Kraton Kanoman) adalah sebuah kesultanan Islam
di wilayah Jawa Barat yang berdiri pada abad 15 dan 16. Lokasinya yang
terletak dalam jalur perdagangan penting antar pulau dalam abad
merkantilisme pada saat itu memberikan gambaran tentang
kosmopolitanisme penguasa Cirebon yang memadukan berbagai pengaruh
peradaban besar seperti Cina, India, Eropa dan juga penguasa-penguasa
Nusantara.
Pendiri pertama dinasti penguasa Cirebon adalah Pangeran
Cakrabuana yang melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Pajajaran yang
saat itu masih memeluk agama Hindu-Budha di pedalaman Jawa Barat. Peran
Sunan Gunung Jati (1479-1568) sebagai pengganti Cakrabuana menjadikan
kesultanan Cirebon sebagai salah satu tempat penyiaran agama Islam di
Jawa Barat yang pada saat itu masih dalam pengaruh penguasa-penguasa
Hindu-Budha (seperti Kerajaan Pajajaran yang terletak di wilayah
pedalaman Jawa Barat). Dan dalam kaitan ini pula kita bisa melihat
hubungan erat antara kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten yang juga
sama-sama tumbuh menjadi penguasa lokal sepanjang pesisir pantai Jawa
Barat dalam era yang sama. Bagaimana kaitan erat antara dua kesultanan
tersebut bisa dilihat sekarang ini melalui salah satu koleksi alat
musik degung milik kraton yang merupakan hadiah dari Sultan Banten.
2. Arsitektur & Interior
Apabila
kita perhatikan ruang luar kraton kasepuhan, kita bisa melihat
bagaimana perpabuan unsur-unsur Eropa seperti meriam dan patung singa
di halaman muka, furniter dan meja kaca gaya Prancis tempat para tamu
sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang ukiran Bali dan pintu kayu
model ukiran Prancis yang menampakan gambaran kosmpolitan kraton
kasepuhan sekarang. Arsitektur dan koleksi benda-benda milik Katon
Kasepuhan yang tersimpan dalam museum kraton dengan demikian memberikan
sebuah gambaran tentang sifat kosmopolitan keraton pada masa kejayaan
kesultanan Cirebon pada abad ke-15 dan ke-16.
Seperti juga
penguasa-penguasa Nusantara lainnya (seperti Kasunanan Solo), terdapat
kesan bagi para penguasa untuk mengadopsi kehidupan dunia luar dalam
kehidupan penguasa lokal ini. Sebagai salah satu contohnya adalah
kegemaran kesultanan Cirebon mengadopsi gaya dan arsitektur model Eropa
yang mengisi bagian dalam Kraton Kasepuhan. Perhatikan bagaimana model
dan ukiran di ruang pertemuan sultan dengan para menteri (bangsal
Prabhayaksa) yang dibuat dengan model yang hampir sama dalam interior
kerajaan Prancis di bawah dinasti Bourbon, seperti model kursi, meja
dan lampu gantung. Bagaimanapun terdapat kombinasi gaya interior ini
apabila kita memperhatikan sembilan kain berwarna di latar belakang
singgasana raja yang melambangkan sosok wali songo (para penyebar agama
Islam di Jawa). Di sini tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah
'dilokalkan'.
3. Koleksi Museum
Gambar berikut
menunjukkan koleksi alat-alat musik degung milik kraton kasepuhan yang
merupakan hadiah dari sultan Banten yang menunjukkan hubungan penguasa
Cirebon dengan penguasa Banten saat itu yang sama-sama didirikan pada
masa kejayaan penguasa-penguasa Islam di Jawa. Di dalam deretan
perlengkapan alat musik tersebut, terdapat alat musik rebana
peninggalan sunan Kalijaga. Di sini kita bisa melihat percampuran
antara tradisi Arab dan Jawa berpadu dalam proses penyebaran agama
Islam di Jawa pada masa itu.
Di dalam koleksi museum kraton
kasepuhan lain yang menarik yang ditampilkan dalam gambar dibawah ini
adalah kereta kuda, meriam portugis, tandu permaisuri dan relief kayu
yang menggambarkan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan yang
melambangkan kesuburan. Dalam kaitan ini, kita bisa melihat bagaimana
pengaruh tradisi Hindu-Budha dalam sejarah pra-kolonial Jawa masih
bertahan di dalam era kekuasaan raja-raja Islam di Jawa. Meriam
portugis yang menjadi bagian koleksi museum kraton kasepuhan juga
menunjukkan bagaimana hubungan sultan Cirebon tersebut dengan kekuatan
maritim Eropa yang mulai merambah jalur perdagangan rempah-rempah di
Nusantara pada abad 16 dan
Koleksi penting lainnya dalam
museum kraton kasepuhan adalah apa yang dikenal sekarang sebagai topeng
Cirebon. Topeng ini adalah koleksi yang berasal dari periode Sunan
Gunung Jati ini mewakili sebuah cerita tentang bagaimana seni lokal
digunakan sebagai alat penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat,
yang dapat dibandingkan dengan penggunaan medium wayang oleh Sunan
Kalijaga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
4. Sejarah berdirinya Keraton Sunyaragi
Sejarah
berdirinya gua Sunyaragi memiliki dua buah versi, yang pertama adalah
berita lisan tentang sejarah berdirinya gua Sunyaragi yang disampaikan
secara turun-temurun oleh para bangsawan Cirebon atau keturunan
keraton. Versi tersebut lebih dikenal dengan sebutan versi Carub Kanda
Versi yang kedua adalah versi Caruban Nagari yaitu berdasarkan buku
“Purwaka Caruban Nagari” tulisan tangan
Pangeran Kararangen tahun
1720. Namun sejarah berdirinya gua Sunyaragi versi Caruban Nagari
berdasarkan sumber tertulislah yang digunakan sebagai acuan para
pemandu wisata gua Sunyaragi yaitu tahun 1703 Masehi untuk menerangkan
tentang sejarah gua Sunyaragi karena sumber tertulis lebih memiliki
bukti yang kuat daripada sumber-sumber lisan. Kompleks Sunyaragi
dilahirkan lewat proses yang teramat panjang. Tempat ini beberapa kali
mengalami perombakan dan perbaikan. Menurut buku Purwaka Carabuna
Nagari karya Pangeran Arya Carbon, Tamansari Gua Sunyaragi dibangun
pada tahun 1703 M oleh Pangeran Kararangen. Pangeran Kararangen adalah
nama lain dari Pangeran Arya Carbon.
Namun menurut Caruban Kandha
dan beberapa catatan dari Keraton Kasepuhan, Tamansari dibangun karena
Pesanggrahan ”Giri Nur Sapta Rengga” berubah fungsi menjadi tempat
pemakaman raja-raja Cirebon, yang sekarang dikenal sebagai Astana
Gunung Jati. Terutama dihubungkan dengan perluasan Keraton Pakungwati
(sekarang Keraton Kasepuhan Cirebon) yang terjadi pada tahun 1529 M,
dengan pembangunan tembok keliling keraton, Siti Inggil dan lain-lain.
Sebagai data perbandingan, Siti Inggil dibangun dengan ditandai candra
sengkala ”Benteng Tinataan Bata” yang menunjuk angka tahun 1529 M.
Di
Tamansari Gua Sunyaragi ada sebuah taman Candrasengkala yang disebut
”Taman Bujengin Obahing Bumi” yang menunjuk angka tahun 1529. Di kedua
tempat itu juga terdapat persamaan, yakni terdapat gapura ”Candi
Bentar” yang sama besar bentuk dan penggarapannya. Pangeran Kararangen
hanya membangun kompleks Gua Arga Jumut dan Mande Kemasan saja.
5. Arsitektur Gua Sunyaragi
Gaya
Indonesia klasik atau Hindu dapat terlihat pada beberapa bangunan
berbentuk joglo. Misalnya, pada bangunan Bale Kambang, Mande Beling dan
gedung Pesanggrahan, bentuk gapura dan beberapa buah patung seperti
patung gajah dan patung manusia berkepala garuda yang dililit oleh
ular. Seluruh ornamen bangunan yang ada menunjukkan adanya suatu
sinkretsime budaya yang kuat yang berasal dari berbagai dunia. Namun,
umumnya dipengaruhi oleh gaya arsitektur Indonesia Klasik atau Hindu.
Gaya
Cina terlihat pada [[ukiran] bunga seperti bentuk bunga persik, bunga
matahari dan bunga teratai. Di beberapa tempat, dulu Gua Sunyaragi
dihiasi berbagai ornamen keramik Cina di bagian luarnya.
Keramik-keramik itu sudah lama hilang atau rusak sehingga tidak
diketahui coraknya yang pasti. Penempatan [[keramik|keramik-keramik]
pada bangunan Mande Beling serta motif mega mendung seperti pada
kompleks bangunan gua Arga Jumut memperlihatkan bahwa gua Sunyaragi
mendapatkan pengaruh gaya arsitektur Cina. Selain itu ada pula kuburan
Cina, kuburan tersebut bukanlah kuburan dari seseorang keturunan Cina
melainkan merupakan sejenis monumen yang berfungsi sebagai tempat
berdoa para keturunan pengiring-pengiring dan pengawal-pengawal Putri
Cina yang bernama Ong Tien Nio atau Ratu Rara Sumanding yang merupakan
istri dari Sunan Gunung Jati.
Sebagai peninggalan keraton
yang dipimpin oleh Sultan yang beragama Islam, gua Sunyaragi dilengkapi
pula oleh pola-pola arsitektur bergaya Islam atau Timur Tengah.
Misalnya, relung-relung pada dinding beberapa bangunan, tanda-tanda
kiblat pada tiap-tiap pasholatan atau musholla, adanya beberapa
pawudlon atau tempat wudhu serta bentuk bangunan Bangsal Jinem yang
menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi belakang Bangsal Jinem.
Hal tersebut menjelaskan bahwa gaya arsitektur gua Sunyaragi juga
mendapat pengaruh dari Timur Tengah atau Islam.
Gua Sunyaragi
didirikan pada zaman penjajahan Belanda sehingga gaya arsitektur
Belanda atau Eropa turut mempengaruhi gaya arsitektur gua Sunyaragi.
Tanda tersebut dapat terlihat pada bentuk jendela yang tedapat pada
bangunan Kaputren, bentuk tangga berputar pada gua Arga Jumut dan
bentuk gedung Pesanggrahan.
Secara visual, bangunan-bangunan di
kompleks gua Sunyaragi lebih banyak memunculkan kesan sakral. Kesan
sakral dapat terlihat dengan adanya tempat bertapa seperti pada gua
Padang Ati dan gua Kelangenan, tempat sholat dan pawudon atau tempat
untuk mengambil air wudhu, lorong yang menuju ke Arab dan Cina yang
terletak di dalam kompleks gua Arga Jumut; dan lorong yang menuju ke
Gunung Jati pada kompleks gua Peteng. Di depan pintu masuk gua Peteng
terdapat patung Perawan Sunti.
Menurut legenda masyarakat lokal,
jika seorang gadis memegang patung tersebut maka ia akan susah untuk
mendapatkan jodoh. Kesan sakral nampak pula pada bentuk bangunan
Bangsal Jinem yang menyerupai bentuk Kabah jika dilihat dari sisi
belakang Bangsal Jinem. Selain itu ada pula patung Haji Balela yang
menyerupai patung Dewa Wisnu.
Pada tahun 1997 pengelolaan gua
Sunyaragi diserahkan oleh pemerintah kepada pihak keraton Kasepuhan.
Hal tersebut sangat berdampak pada kondisi fisik gua Sunyaragi.
Kurangnya biaya pemeliharaan menyebabkan lokasi wisata gua Sunyaragi
lama kelamaan makin terbengkal
6. Upaya Pemugaran
Tahun 1852
taman ini sempat diperbaiki karena pada tahun 1787 sempat dirusak
Belanda. Saat itu, taman ini menjadi benteng pertahanan. Tan Sam Cay,
seorang arsitek Cina, konon diminta Sultan Adiwijaya untuk
memperbaikinya. Namun, arsitek Cina itu ditangkap dan dibunuh karena
dianggap telah membocorkan rahasia gua Sunyaragi kepada Belanda. Karena
itu, di kompleks Taman Sunyaragi juga terdapat patok bertulis ”Kuburan
Cina”.
Pemugaran Tamansari Gua Sunyaragi pernah dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda pada 1937-1938. Pelaksanaannya diserahkan
kepada seorang petugas Dinas Kebudayaan Semarang. Namanya, Krisjman. Ia
hanya memperkuat konstruksi aslinya dengan menambah tiang-tiang atau
pilar bata penguat, terutama pada bagian atap lengkung. Namun terkadang
ia juga menghilangkan bentuk aslinya, apabila dianggap membahayakan
bangunan keseluruhan. Seperti terlihat di Gua Pengawal dan sayap
kanan-kiri antara gedung Jinem dan Mande Beling.
Pemugaran terakhir
dilakukan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang memugar Tamansari secara
keseluruhan dari tahun 1976 hingga 1984. Sejak itu tak ada lagi
aktivitas pemeliharan yang serius pada kompleks ini.
Bangunan tua
ini hingga kini masih ramai dikunjungi orang, karena letaknya persis di
tepi jalan utama. Tempat parkir lumayan luas, taman bagian depan
mendapat sentuhan baru untuk istirahat para wisatawan. Terdapat juga
panggung budaya yang digunakan untuk pementasan kesenian Cirebon. Namun
keadaan panggung budaya tersebut kini kurang terurus, penuh dengan
tanaman liar. Kolam di kompleks Taman Sari pun kurang terurus dan
airnya mongering
7. Denah Komplek Gua Sunyaragi
Kompleks
tamansari Sunyaragi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu pesanggrahan
dan bangunan gua. Bagian pesanggrahan dilengkapi dengan serambi, ruang
tidur, kamar mandi, kamar rias, ruang ibadah dan dikelilingi oleh taman
lengkap dengan kolam. Bangunan gua-gua berbentuk gunung-gunungan,
dilengkapi terowongan penghubung bawah tanah dan saluran air. Bagian
luar komplek aku bermotif batu karang dan awan. Pintu gerbang luar
berbentuk candi bentar dan pintu dalamnya berbentuk paduraksa.
Induk
seluruh gua bernama Gua Peteng (Gua Gelap) yang digunakan untuk
bersemadi. Selain itu ada Gua Pande Kemasan yang khusus digunakan untuk
bengkel kerja pembuatan senjata sekaligus tempat penyimpanannya.
Perbekalan dan makanan prajurit disimpan di Gua Pawon. Gua Pengawal
yang berada di bagian bawah untuk tempat berjaga para pengawal. Saat
Sultan menerima bawahan untuk bermufakat, digunakan Bangsal Jinem, akan
tetapi kala Sultan beristirahat di Mande Beling. Sedang Gua Padang Ati
(Hati Terang), khusus tempat bertapa para Sultan.
Denah Gua sunyaragi
Walaupun
berubah-ubah fungsinya menurut kehendak penguasa pada zamannya, secara
garis besar Tamansari Sunyaragi adalah taman tempat para pembesar
keraton dan prajurit keraton bertapa untuk meningkatkan ilmu kanuragan.
Bagian-bagiannya terdiri dari 12 antara lain (lihat denah):
(1)bangsal
jinem, tempat sultan memberi wejangan sekaligus melihat prajurit
berlatih; (2) goa pengawal, tempat berkumpul par apengawal sultan; (3)
kompleks Mande Kemasan (sebagain hancur); (4) goa Pandekemasang, tempat
membuat senjata tajam; (5) goa Simanyang, tempat pos penjagaan; (6) goa
Langse, tempat bersantai; (7) goa peteng, tempat nyepi untuk kekebalan
tubuh; (8) goa Arga Jumud, tempat orang penting keraton; (9) goa Padang
Ati, tempat bersemedi; (10) goa Kelanggengan, tempat bersemedi agar
langgeng jabatan; (11)goa Lawa, tempat khusus kelelawar; (12) goa
pawon, dapur penyimpanan makanan.
BAB IV
SIMPULAN
Setelah
penulis paparkan hasil penelitian dan wawancara yang dilakukan di
keraton kasepuhan, keraton kanoman dan keraton sunyaragi punulis
simpulkan melalui beberapa kriteria yaitu sebagai berikut:
Potret Kosmopolitan Penguasa Pesisir Cirebon Jawa Barat
Kesultanan
Cirebon (menjadi Kraton Kasepuhan setelah perpecahannya pada tahun
1677, dan terbentuknya Kraton Kanoman) adalah sebuah kesultanan Islam
di wilayah Jawa Barat yang berdiri pada abad 15 dan 16. Lokasinya yang
terletak dalam jalur perdagangan penting antar pulau dalam abad
merkantilisme pada saat itu memberikan gambaran tentang
kosmopolitanisme penguasa Cirebon yang memadukan berbagai pengaruh
peradaban besar seperti Cina, India, Eropa dan juga penguasa-penguasa
Nusantara.
Arsitektur & Interior
Apabila kita perhatikan
ruang luar kraton kasepuhan, kita bisa melihat bagaimana perpabuan
unsur-unsur Eropa seperti meriam dan patung singa di halaman muka,
furniter dan meja kaca gaya Prancis tempat para tamu sultan berkaca
sebelum menghadap, gerbang ukiran Bali dan pintu kayu model ukiran
Prancis yang menampakan gambaran kosmpolitan kraton kasepuhan sekarang.
Arsitektur dan koleksi benda-benda milik Katon Kasepuhan yang tersimpan
dalam museum kraton dengan demikian memberikan sebuah gambaran tentang
sifat kosmopolitan keraton pada masa kejayaan kesultanan Cirebon pada
abad ke-15 dan ke-16.
Sejarah berdirinya Keraton Sunyaragi
Sejarah
berdirinya gua Sunyaragi memiliki dua buah versi, yang pertama adalah
berita lisan tentang sejarah berdirinya gua Sunyaragi yang disampaikan
secara turun-temurun oleh para bangsawan Cirebon atau keturunan
keraton. Versi tersebut lebih dikenal dengan sebutan versi Carub Kanda
Versi yang kedua adalah versi Caruban Nagari yaitu berdasarkan buku
“Purwaka Caruban Nagari” tulisan tangan.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, H, Nina, Dr. Hj. M.S. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. 2000. Humaniora Utama Press, Bandung.
Bayu Dwi Mardana, Kantor Administrasi dan Meseum Tamansari Gua Sunyaragi - Cirebon, Sinar Harapan 2003.
R. Supriyanto, Jurusan Desain Komunikasi Visual,Fakultas Desain dan
Seni,UNIKOM, 2004, Digital Library ITB
Sunyaragi, http://id.wikipedia.org/wiki/Sunyaragi
Koleksi pribadi foto Gua Sunyaragi"
http://www.cirebonkota.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar